Senin, 03 Februari 2025

Tantangan Pengangguran di Kabupaten Bogor



Pengangguran adalah isu krusial yang dihadapi pemerintah, tidak hanya mencerminkan kondisi ekonomi tetapi juga memiliki dampak sosial yang luas. Mereka yang menganggur sering dianggap sebagai beban bagi keluarga, masyarakat, bahkan negara. Hal ini terutama disebabkan oleh terbatasnya lapangan pekerjaan, ketidaksesuaian antara pendidikan yang dimiliki dan keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja.

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan pengangguran sebagai penduduk usia kerja yang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan, tidak bekerja tetapi sedang mempersiapkan usaha, tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, serta mereka yang telah diterima bekerja namun belum mulai bekerja. Sedangkan mereka yang sedang bersekolah atau memiliki alasan tertentu tidak dihitung sebagai pengangguran.

Menurut data BPS Kabupaten Bogor, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada tahun 2024 tercatat sebesar 7,34%, mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 8,47%. Penurunan ini dianggap sebagai indikator keberhasilan pemerintah dalam mengurangi pengangguran. Namun, penurunan ini tidak selalu mencerminkan perbaikan kualitas pekerjaan yang tersedia.

Meski TPT menurun, banyak penduduk yang bekerja di Kabupaten Bogor memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Sekitar 32% di antaranya adalah lulusan sekolah dasar, sementara hanya 12% yang memiliki gelar sarjana. Fenomena ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam kualitas pendidikan yang berdampak langsung pada ketersediaan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan tersebut berkontribusi pada dominasi sektor informal yang masih menjadi pilihan utama. Data menunjukkan bahwa sekitar 44% tenaga kerja di Kabupaten Bogor bekerja di sektor informal, seperti pekerja lepas, berusaha sendiri, atau pekerja keluarga yang sering kali tidak mendapatkan imbalan yang layak dan tidak memiliki jaminan pekerjaan.

Sektor industri pengolahan dan perdagangan merupakan pendorong utama perekonomian di Kabupaten Bogor. Kedua sektor ini banyak menciptakan lapangan pekerjaan, namun keduanya juga menghadapi sejumlah tantangan yang perlu mendapat perhatian serius. Kualitas tenaga kerja yang belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan industri menjadi masalah utama. Proses industrialisasi yang pesat harus diimbangi dengan peningkatan keterampilan tenaga kerja agar dapat bersaing di pasar yang semakin kompetitif. Sementara itu, sektor perdagangan, yang lebih mudah diakses dan membutuhkan modal kecil, sering kali tidak menjamin keberlanjutan ekonomi yang layak. Banyak masyarakat yang terjebak dalam sektor ini meskipun memiliki peluang untuk bekerja, namun mereka tidak mendapatkan penghasilan yang cukup untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Pengangguran yang rendah di Kabupaten Bogor tidak selalu menggambarkan kualitas pekerjaan yang tersedia. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperhatikan keseimbangan antara jumlah lapangan kerja yang tersedia dan kualitas tenaga kerja yang ada. Penurunan angka pengangguran yang tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pekerjaan justru dapat menciptakan ketimpangan ekonomi. Pemerintah dan sektor industri harus bekerja sama untuk memastikan tenaga kerja yang ada memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Hal ini memerlukan adanya pelatihan dan pendidikan yang relevan serta pengembangan sumber daya manusia yang kompeten untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang merata.

Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah perlu fokus tidak hanya pada pengurangan angka pengangguran, tetapi juga pada pengembangan keterampilan dan pendidikan penduduk agar mereka bisa berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan yang lebih baik dan lebih berkualitas.

Dalam menghadapi tantangan pengangguran, Kabupaten Bogor perlu menyusun kebijakan yang lebih komprehensif, yang tidak hanya mengurangi angka pengangguran, tetapi juga meningkatkan kualitas pekerjaan yang tersedia. Hal ini mencakup peningkatan pendidikan dan pelatihan keterampilan, serta pemberdayaan sektor industri yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih berkelanjutan dan berkualitas. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan Kabupaten Bogor dapat menciptakan perekonomian yang lebih inklusif dan berkelanjutan, yang tidak hanya mengurangi pengangguran, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Penulis: Siti Maulina Meutuah, S.Si. (Statistisi Ahli Muda Kabupaten Bogor)

Baca tulisan lengkap disini

Read More

PEMBATASAN USIA PENGGUNA MEDIA SOSIAL, APAKAH PERLU?

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berencana untuk mengeluarkan aturan pembatasan penggunaan media sosial, mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan, terutama bagi anak-anak. Langkah serupa telah diterapkan di beberapa negara, seperti Australia, yang pada tahun 2024 melarang anak di bawah 16 tahun untuk menggunakan media sosial. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari bahaya media sosial, seperti kecanduan, paparan konten berbahaya, serta dampak pada kesehatan mental mereka.

Aturan ini menuai beragam reaksi. Pendukung kebijakan ini berpendapat bahwa media sosial bisa memperkenalkan anak-anak pada konten yang tidak seharusnya mereka akses, yang bisa berdampak negatif pada perkembangan mereka. Di sisi lain, pihak yang kontra menilai bahwa media sosial juga dapat menjadi alat yang bermanfaat bagi anak-anak untuk mengakses informasi, pengetahuan, dan memperluas pergaulan. Ini menimbulkan pertanyaan apakah pembatasan usia di Indonesia merupakan langkah yang tepat, mengingat manfaat yang juga dapat diperoleh anak-anak dari penggunaan media sosial.

Indonesia sendiri mencatatkan jumlah pengguna internet yang sangat besar. Pada 2023, sekitar 167 juta orang, atau sekitar 77,17% dari total penduduk Indonesia, menggunakan internet. Dari jumlah tersebut, 167 juta orang atau 60% dari total penduduk aktif menggunakan media sosial. Hal ini menunjukkan potensi besar yang bisa dimanfaatkan, baik oleh individu maupun sektor bisnis. Riset We Are Social pada 2022 menunjukkan bahwa Indonesia masuk dalam 5 negara dengan jumlah pembelian bahan kebutuhan rumah tangga secara online tertinggi, yang seringkali dilakukan melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, dan TikTok.

Namun, meskipun media sosial menawarkan potensi positif, ada juga potensi bahaya yang besar jika tidak digunakan dengan bijak. Media sosial bisa menjadi alat relasi sosial, pengembangan diri, serta sumber informasi, tetapi juga dapat menyebabkan berkurangnya interaksi sosial langsung, kecanduan, cyberbullying, atau rentan terhadap pengaruh negatif dari pengguna lain. Salah satu kelompok yang paling rentan terhadap dampak buruk media sosial adalah anak-anak.

Berdasarkan data BPS tahun 2023, sebanyak 12,27% anak usia 5-12 tahun mengakses internet dalam tiga bulan terakhir, dan angka tersebut terus meningkat seiring bertambahnya usia. Sekitar 25,64% dari total pengguna internet di Indonesia adalah anak-anak. Anak-anak dengan sifat ingin tahu yang tinggi sangat rentan terhadap efek negatif dari penggunaan media sosial yang tidak diawasi. Konten-konten negatif seperti pornografi, pergaulan bebas, perjudian online, dan informasi yang salah sangat mudah diakses, yang dapat mempengaruhi perilaku anak-anak. Bahkan, dalam laporan Pusiknas Bareskrim Polri, pada 2024, lebih dari seribu anak setiap bulannya terlibat dalam kasus kejahatan, dan angka ini kemungkinan besar lebih tinggi jika memperhitungkan kasus yang tidak dilaporkan.

Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan regulasi yang dapat membatasi akses anak-anak terhadap media sosial. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran penting untuk memaksa platform media sosial untuk mematuhi batasan usia yang ditetapkan dan memberikan sanksi kepada pihak yang melanggar. Dukungan dari DPR sangat penting untuk mewujudkan regulasi ini.

Namun, bukan hanya pemerintah yang harus bertanggung jawab. Orang tua juga memiliki peran krusial dalam mengawasi penggunaan media sosial oleh anak-anak. Orang tua perlu menerapkan aturan yang ketat, seperti memeriksa ponsel anak secara rutin, memastikan anak tidak mengunci ponselnya, dan mengawasi akses anak terhadap media sosial. Aturan tersebut bukan untuk membatasi hak anak, tetapi untuk melindungi mereka dari potensi bahaya.

Sekolah juga berperan dalam mengurangi dampak negatif media sosial. Menurut UNESCO dalam laporannya pada 2023, penggunaan ponsel di sekolah sebaiknya dibatasi karena dapat mengganggu proses belajar dan membuat siswa terlibat dalam kegiatan yang tidak berhubungan dengan pendidikan. Sekolah dapat menggantikan komunikasi antara siswa dan orang tua dengan menghubungi wali kelas, untuk mengurangi ketergantungan siswa pada ponsel.

Secara keseluruhan, pembatasan usia penggunaan media sosial di Indonesia adalah langkah yang perlu didukung, asalkan semua pihak—pemerintah, orang tua, dan sekolah—terlibat aktif dalam upaya melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial. Dengan perlindungan yang tepat, anak-anak dapat tumbuh dengan pengetahuan dan akhlak yang baik, dan Indonesia dapat mewujudkan visi Indonesia Emas pada 2045, bukan Indonesia Cemas.

Penulis: Mohamad Jalaluddin

Baca tulisan selengkapnya

Read More

Realita Desa dibalik Kemajuan Industrialisasi di Karawang

 


Ketimpangan Pembangunan antara Industri dan Desa di Karawang

Karawang telah berkembang pesat sebagai kota industri sejak awal 1990-an, dengan berdirinya Kawasan Industri Karawang International Industrial City (KIIC) dan Kawasan Industri Surya Cipta. Sektor-sektor utama di Karawang, seperti manufaktur, otomotif, elektronik, dan tekstil, mendongkrak ekonomi daerah ini. Akses strategis ke Jakarta, pelabuhan Tanjung Priok, dan jalur tol semakin memperkuat posisi Karawang sebagai pusat industri. Karawang kini memiliki Upah Minimum Regional (UMR) tinggi, mencerminkan kemajuan ekonomi daerah ini.

Namun, pesatnya industrialisasi ini tidak merata, terutama di pedesaan. Desa-desa di sekitar kawasan industri masih menghadapi ketertinggalan dalam pembangunan. Meskipun industri menciptakan lapangan pekerjaan, banyak desa yang tidak mendapatkan dampak langsung dari kemajuan tersebut.

Kondisi Desa dan Ketergantungan pada Pertanian

Berdasarkan data Pendataan Potensi Desa (Podes) 2024, Karawang memiliki 309 desa/kelurahan, di mana 61,49% penduduk desa masih menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Namun, lahan pertanian semakin berkurang karena alih fungsi menjadi lahan industri dan pemukiman. Sebanyak 190 desa bergantung pada pertanian, sementara 89 desa (28,80%) memiliki penduduk yang bekerja di sektor industri.

Desa yang lebih jauh dari kawasan industri, terutama yang berada di wilayah perbukitan atau terpencil, mengalami keterbatasan akses pembangunan. Data menunjukkan bahwa ada 16 desa (5,18%) yang terletak di lereng dan 6 desa (1,94%) di sekitar hutan, yang masih belum mendapatkan perhatian pembangunan yang memadai.

Masalah Infrastruktur dan Akses Layanan

Masalah infrastruktur menjadi kendala utama di desa-desa Karawang. Beberapa desa masih mengandalkan jalan setapak atau tanah untuk menghubungkan antar wilayah. Akses komunikasi juga terbatas, dengan 8 desa (2,59%) yang memiliki sinyal telepon seluler dan internet lemah.

Dalam hal layanan publik, akses pendidikan dan kesehatan di desa sangat terbatas. Hanya 16 desa (5,18%) yang memiliki perguruan tinggi, sementara banyak desa kekurangan fasilitas pendidikan berkualitas. Di sektor kesehatan, 21 desa (6,80%) berada dekat dengan rumah sakit besar, sementara desa lainnya kesulitan mendapatkan akses medis. Selain itu, masalah ekonomi juga muncul akibat kurangnya akses ke pembiayaan. Lembaga keuangan di desa terbatas, dengan hanya 12 desa (3,88%) memiliki koperasi Unit Desa, yang menyulitkan usaha kecil berkembang.

Dampak Industrialisasi dan Kerusakan Lingkungan

Industri yang berkembang pesat di Karawang juga menimbulkan dampak lingkungan di desa-desa sekitarnya. Pencemaran air terjadi di 51 desa (16,50%), pencemaran udara di 14 desa (4,53%), dan pencemaran tanah di 1 desa (0,32%). Selain itu, bencana alam seperti banjir (56 desa atau 18,12%) dan tanah longsor (6 desa atau 1,94%) juga terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industrialisasi.

Solusi untuk Pembangunan yang Merata

Pemerintah dan sektor swasta perlu memberikan perhatian lebih kepada desa-desa yang tertinggal. Pembangunan infrastruktur, akses pendidikan, dan layanan kesehatan yang lebih baik harus menjadi prioritas untuk menciptakan kesejahteraan yang merata. Pembangunan yang inklusif ini penting agar desa-desa tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga dapat merasakan manfaat langsung dari kemajuan industri di Karawang.

Penulis: Friski Ramadhani, S.ST - Statistisi Ahli Muda Karawang

Baca tulisan lengkap





Read More

PARADOKS KEMISKINAN YANG DIABAIKAN DI INDRAMAYU


 

Fenomena Konsumtif dan Kemiskinan di Indramayu: Tantangan dan Solusi

Masyarakat buruh tani di Indramayu sering terjebak dalam pola hidup konsumtif, terutama ketika menyelenggarakan acara hajatan pernikahan. Meski pendapatan mereka rendah, mereka merasa tertekan untuk mengadakan pernikahan yang meriah demi menutupi kondisi ekonomi mereka dan menghindari gunjingan masyarakat. Hal ini mencerminkan tingginya angka kemiskinan di Indramayu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, Indramayu memiliki persentase kemiskinan tertinggi di Jawa Barat, yaitu 11,93%, dengan Garis Kemiskinan (GK) pada Maret 2024 tercatat sebesar Rp 560.159 per kapita per bulan.

Kondisi Kemiskinan yang Mengkhawatirkan

Menurut data Susenas, rumah tangga miskin di Indramayu rata-rata terdiri dari empat orang. Untuk keluar dari kemiskinan, setiap rumah tangga membutuhkan biaya sekitar Rp 2.240.636 per bulan. Hal ini menggambarkan tantangan ekonomi yang besar bagi masyarakat Indramayu. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan menjadi penyebab utama kemiskinan di daerah ini. Rata-rata lama sekolah di Indramayu hanya 6,95 tahun, yang setara dengan tamat sekolah dasar. Hal ini menjadikan Indramayu sebagai daerah dengan angka pendidikan terendah di Jawa Barat.

Pendidikan dan Pengangguran sebagai Penyebab Kemiskinan

Rendahnya tingkat pendidikan berdampak langsung pada keterampilan kerja dan kesempatan memperoleh pekerjaan dengan upah layak. Sebanyak 22,25% penduduk Indramayu tidak menyelesaikan pendidikan dasar, sementara hanya 27,60% yang menyelesaikan pendidikan SMA atau lebih tinggi. Di sisi lain, tingkat pengangguran di Indramayu cukup tinggi, yaitu sekitar 37,76% di antara penduduk usia 15 tahun ke atas. Sementara itu, 40,76% lainnya bekerja di sektor informal, sebagian besar di sektor pertanian yang memiliki upah rendah dan rentan terhadap perubahan iklim.

Ketergantungan pada Sektor Pertanian

Sebanyak 31,22% penduduk Indramayu bergantung pada sektor pertanian, baik hortikultura, perkebunan, maupun perikanan. Namun, sebagian besar pekerja di sektor ini adalah petani gurem yang memiliki lahan terbatas, dengan produktivitas yang rendah. Ketergantungan ini semakin sulit dengan adanya alih fungsi lahan dan mekanisasi pertanian yang mengurangi lapangan pekerjaan. Perubahan iklim dan bencana alam seperti banjir dan kekeringan juga semakin mempersulit pendapatan dari sektor pertanian. Selain itu, serangan hama dan keterbatasan akses terhadap pupuk dan obat-obatan juga menjadi tantangan yang besar.

Solusi untuk Pengentasan Kemiskinan di Indramayu

Untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indramayu, solusi komprehensif dibutuhkan. Salah satu langkah penting adalah meningkatkan kualitas pendidikan di daerah ini. Investasi pendidikan harus ditingkatkan, dengan memberi akses kepada anak-anak dari keluarga miskin untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Selain itu, pengembangan keterampilan yang relevan dengan pasar kerja juga sangat diperlukan.

Pengembangan sektor industri berbasis sumber daya lokal juga menjadi kunci untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru. Dengan memanfaatkan sektor pertanian, perikanan, dan petrokimia, Indramayu bisa menciptakan industri yang mampu menyerap tenaga kerja terampil. Pemerintah juga perlu menyediakan dukungan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas petani dan mengurangi ketergantungan pada cuaca.

Peluang Pembangunan Ekonomi

Pencanangan kawasan Rebana sebagai pusat ekonomi di Jawa Barat merupakan peluang besar bagi Indramayu. Dengan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah, Indramayu dapat berdiri sejajar dengan kabupaten/kota lain di provinsi tersebut. Pembangunan kawasan ini harus didorong oleh upaya pemberdayaan masyarakat miskin, dengan fokus pada pengembangan industri berbasis sumber daya lokal yang dapat menciptakan lapangan kerja.

Kesimpulan

Kemiskinan di Indramayu merupakan masalah yang kompleks, namun bisa diatasi dengan pendekatan yang tepat. Pendidikan yang berkualitas, pengembangan sektor industri berbasis sumber daya lokal, serta pemanfaatan teknologi dalam sektor pertanian adalah solusi utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan memanfaatkan peluang yang ada, seperti pembangunan kawasan Rebana, Indramayu memiliki potensi untuk keluar dari kemiskinan dan memperbaiki kualitas hidup masyarakatnya.

Penulis: Didin Tajudin - Statistisi Ahli Madya


Penul


Read More

Selasa, 31 Desember 2024

Insight dari Kontroversi Kenaikan PPN menjadi 12%



Kontroversi yang terjadi terkait dengan implementasi PPN 12% mulai Januari 2025 bersifat kontra produktif bagi stabilitas ekonomi Indonesia. Ribut-ribut tanpa mencari solusi hanya akan karena akan menciptakan aksi defensif dari pelaku ekonomi, tak heran jika reventive inflation yaitu inflasi yang terjadi mendahului kebijakannya.


Oposisi sekalipun, baiknya mengambil langkah yang bijak dengan menunjukkan dampak positif dan negatif secara proporsional. Jika hanya bicara hal yang buruk maka hanya memperparah penolakan masyarakat yang pada akhirnya menciptakan sentimen negatif pada investor. Efeknya investor akan memindahkan modalnya keluar Indonesia karena khawatir akan merugi. Gejala ini sudah terjadi dengan hengkangnya modal asing (capital outflow) sebesar Rp 4,31 triliun di Pekan Ketiga Desember 2024 (BI, 2024). Hengkangnya asing dari pasar keuangan dalam negeri, premi risiko investasi di Indonesia juga meningkat. Ini terlihat dari premi credit default swap (CDS) Indonesia 5 tahun per 26 Desember 2024 sebesar 76,02 bps, naik dibanding dengan 20 Desember 2024 sebesar 75,86 bps.


Untuk mencapai visi bersama mencapai Indonesia Emas 2045, semua pihak harus bersama-sama menjaga sentimen agar tetap positif. Tetap dengan jujur mengatakan data situasi yang sebenarnya adalah keharusan dalam menjaga fairness. Data yang menunjukkan risiko efek negatif dari implementasi PPN 12%  digunakan untuk menyusun mitigasi terbaik, memberikan saran jika ada celah yang bisa diperbaiki untuk meminimalkan risiko. Defisit anggaran adalah masalah yang harus segera diperbaiki. Protes tentang membengkaknya utang pemerintah menjadi tidak konsisten ketika cara untuk mengatasinya dengan meningkatkan pembiayaan dalam negeri lewat peningkatan pajak. Maraknya pemberitaan tentang PPN ini digunakan sebagai kesempatan untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat khususnya terkait pajak. Ketika pemahaman masyarakat semakin baik terhadap manfaat pajak, diharapkan kesadaran membayar pajak semakin besar dan pemasukan pajak semakin baik.


Salah satu sumber utama ketidakpercayaan publik pada pemerintah adalah ketidaktegasan penegak hukum pada praktek korupsi. Siapapun tidak akan ada yang pernah rela 12% yang mereka sisihkan untuk pembangunan malah digunakan oleh para koruptor untuk memperkaya diri sendiri, dan digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya dengan memelihara oligarki. Seolah-olah masyarakat hanyalah sapi perah ketika kaum elit membutuhkan susu untuk diminum, sementara mereka tidak menemukan rumput untuk dikunyah.


***

Naskah lengkap dapat dibaca disini


Read More

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Dampaknya terhadap Ekonomi Masyarakat

Ujang Mauludin- Statistisi Muda BPS Kota Cirebon 

Isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) telah menuai beragam kontroversi. Dari sisi pemerintah, kenaikan PPN dianggap perlu untuk mencapai beberapa tujuan strategis, di antaranya: (1) Meningkatkan pendapatan negara, (2) Mengurangi defisit anggaran, (3) Mendukung pemulihan ekonomi pasca-krisis seperti pandemi COVID-19, (4) Menyesuaikan dengan standar internasional, (5) Diversifikasi sumber pendapatan pajak, dan (6) Meningkatkan kepatuhan pajak. Namun, bagi masyarakat, terutama yang berpendapatan rendah dan menengah, kenaikan PPN berpotensi menambah beban ekonomi. Dampak yang dapat dirasakan antara lain: (1) Meningkatnya harga barang dan jasa, (2) Penurunan daya beli, (3) Beban ekonomi yang lebih berat, (4) Potensi inflasi, (5) Pengurangan konsumsi, serta (6) Ketidakpuasan yang dapat memicu ketegangan sosial.

Kondisi ini menimbulkan dilema bagi pemerintah dalam merealisasikan kenaikan PPN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif PPN yang baru sebesar 12% akan diberlakukan paling lambat pada 1 Januari 2025, setelah sebelumnya tarif 11% diberlakukan sejak 1 April 2022. Kenaikan tarif ini sudah berlangsung selama 2,9 tahun, namun perlu dievaluasi apakah kebijakan ini sejalan dengan kondisi perekonomian saat ini, termasuk pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat pengangguran, dan pendapatan per kapita.

Pertumbuhan Ekonomi
Inflasi dan Kenaikan Harga Pangan

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan III-2024 tercatat 4,95% (year-on-year), meskipun ada sedikit penurunan dibandingkan Triwulan II-2024 yang tercatat 5,05%. Beberapa sektor seperti Jasa Lainnya (9,95%), Transportasi dan Pergudangan (8,64%), serta Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum (8,33%) mengalami pertumbuhan pesat. Sementara sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, yang menyerap sekitar 28,18% dari tenaga kerja Indonesia, hanya mencatatkan pertumbuhan 1,69%. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor primer yang cenderung memiliki pendapatan lebih rendah, hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada sektor yang rentan terhadap fluktuasi harga komoditas pangan dan cuaca.

Pada November 2024, Indonesia mengalami inflasi year-on-year (y-o-y) sebesar 1,55%, yang relatif terkendali, meskipun penurunan inflasi yang terlalu cepat juga dapat menandakan pelemahan ekonomi. Salah satu kelompok pengeluaran yang terus memberikan andil inflasi terbesar adalah kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau. Kenaikan harga bahan pangan seperti beras, sayur, minyak goreng, dan daging sering dipengaruhi oleh faktor cuaca, pasokan barang, dan biaya pengiriman. Meskipun kelompok ini memberikan kontribusi besar terhadap inflasi, sifat permintaan yang inelastis—di mana masyarakat tetap membutuhkan barang-barang tersebut meskipun harganya naik—membuat dampak inflasi semakin terasa, terutama bagi masyarakat dengan pendapatan rendah.

Tingkat Pengangguran dan Ketimpangan

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia pada Agustus 2024 tercatat sebesar 4,91%, dengan tingkat pengangguran tertinggi terjadi di daerah perkotaan (5,79%). Meskipun pengangguran di daerah perkotaan menunjukkan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, tingkat pengangguran yang tinggi pada penduduk dengan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) mencerminkan adanya kesenjangan antara keterampilan yang dimiliki dengan kebutuhan pasar kerja. Ketidaksesuaian ini, ditambah dengan rendahnya lapangan pekerjaan di sektor-sektor produktif lainnya, membuat tingginya pengangguran di kalangan penduduk dengan latar belakang pendidikan menengah lebih rentan terhadap dampak kenaikan PPN.

Pendapatan Per Kapita dan Ketimpangan Wilayah

Pada 2023, Produk Domestik Bruto (PDB) per Kapita Indonesia tercatat sebesar 74,96 juta rupiah, atau setara dengan 6,25 juta rupiah per bulan. Namun, perbedaan signifikan dalam pengeluaran per kapita antara daerah perkotaan dan pedesaan menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia belum merata. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun secara keseluruhan perekonomian tumbuh, banyak penduduk yang masih hidup dalam kondisi ekonomi yang sangat terbatas.

Keterkaitan Kenaikan PPN dengan Dampak Ekonomi

Kenaikan PPN yang dijadwalkan pada awal 2025 dapat mempengaruhi daya beli masyarakat, terutama di sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi barang dan jasa, seperti pangan dan kebutuhan sehari-hari. Terutama bagi mereka yang bekerja di sektor pertanian atau sektor-sektor dengan pendapatan lebih rendah, kenaikan PPN dapat memperburuk ketimpangan ekonomi. Pada saat yang sama, tingginya inflasi di sektor makanan dan konsumsi yang tidak elastis meningkatkan potensi terjadinya krisis daya beli.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh kondisi perekonomian, mengingat potensi dampak negatif dari kenaikan PPN pada inflasi, daya beli, dan ketimpangan ekonomi. Kebijakan fiskal yang mendukung pemulihan ekonomi harus lebih memperhatikan sektor-sektor yang rentan dan berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan rakyat.

****

Naskah Asli dapat dibaca disini
Penyunting Narasi Blog - Marisa Wajdi
Read More

Selasa, 24 Desember 2024

Masyarakat di Bumi Tegar Beriman Kian Berkualitas Pencapaian Multidimensi yang Terarah

Belum lama ini kita bangsa Indonesia baru saja melakukan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serempak, tidak terkecuali Kabupaten Bogor. Momen Pilkada sebagai upaya untuk memilih pemimpin baru hendaknya juga dimanfaatkan untuk melakukan evaluasi atas kinerja pemerintah daerah. Masyarakat dapat bersama-sama menilai kinerja kepala daerah sampai akhir masa periode kepemimpinannya menggunakan indikator-indikator makro, sekaligus menjadikan indikator-indikator tersebut sebagai titik awal dalam periode pemerintahan kepala daerah terpilih.

Banyak indikator makro yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja daerah, yang salah satunya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kualitas hidup suatu masyarakat dapat diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tidak hanya pembangunan fisik yang perlu disoroti, tetapi pembangunan manusia juga tak kalah pentingnya. Keduanya merupakan dua aspek yang saling terkait dan tak dapat dipisahkan. Pembangunan fisik, seperti infrastruktur, aksesibilitas, dan teknologi, memang menjadi fondasi yang mendukung kehidupan yang lebih baik. Namun, pembangunan manusia yang mencakup kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial merupakan pilar yang lebih esensial dalam memastikan bahwa masyarakat dapat hidup dengan kualitas yang lebih tinggi dan sejahtera. 

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bogor 

  1. Dimensi Kesehatan: Umur Harapan Hidup yang Meningkat, Tantangan di Sektor Layanan Kesehatan Masih Ada 
  2. Dimensi standar hidup layak: Meningkatnya rata-rata pengeluaran per kapita, namun masih di bawah upah minimum kabupaten (UMK). 

Kabupaten Bogor mencatatkan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 2024 yang belum terlalu menggembirakan. Capaian IPM Kabupaten Bogor pada tahun ini tercatat sebesar 73,63, meningkat 0,61 poin atau hanya 0,84 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Bila diklasifikasikan berdasarkan level kualitasnya, Sejak tahun 2020, status pembangunan manusia Kabupaten Bogor sudah berada pada level “tinggi” (70 ≤ IPM < 80). Namun Kabupaten Bogor masih berada pada ranking ke 16 dari 27 kabupaten/kota se Jawa Barat. Daerah penyangga ibukota lainnya seperti Kota Bogor dan Kota Depok memiliki nilai IPM yang jauh melejit dibanding Kabupaten Bogor. IPM Kota Bogor tercatat sebesar 79,03 (“tinggi”) dan Kota Depok sebesar 83,05 (“sangat tinggi”). Jumlah penduduk yang hampir setara dengan tingkat provinsi (5,6 jutaan penduduk) dan wilayah yang tersebar luas (40 kecamatan, 435 desa/kelurahan) membuat Kabupaten Bogor masih harus bercucuran keringat untuk meningkatkan IPM nya. 

IPM Kabupaten Bogor yang meningkat disumbang oleh peningkatan semua dimensi penyusunannya, baik dimensi kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak. Peningkatan ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah dan masyarakat dalam memajukan kesejahteraan dan kualitas hidup penduduk Kabupaten Bogor. Dalam penghitungan IPM, Badan Pusat Statistik (BPS) mengadopsi konsep dari UNDP (United National Development Programme) sehingga dapat dibandingkan antar daerah dan antar negara. 

Peningkatan IPM salah satunya sangat dipengaruhi oleh kemajuan di sektor kesehatan, yang tercermin dalam dimensi umur panjang dan hidup sehat. Bayi yang lahir pada tahun 2024 di Kabupaten Bogor diperkirakan dapat hidup hingga usia 74,90 tahun, lebih lama 0,23 tahun atau 0,31 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan umur harapan hidup ini menggambarkan adanya kemajuan dalam akses terhadap layanan kesehatan dan kualitas pelayanan medis yang terus diperbaiki, dari fasilitas kesehatan dasar hingga rumah sakit. Salah satu data penyusun umur harapan hidup adalah angka kematian ibu dan bayi. Pemanfaatan akses layananan kesehatan turut berpengaruh dalam penurunan angka ini. Berdasarkan data survei sosial ekonomi nasional (Susenas), perempuan usia 15-49 tahun yang melahirkan di fasilitas kesehatan mengalami peningkatan sebesar 2,4 persen poin pada tahun 2024 dibanding 2023. Kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan layanan kesehatan yang ada demi keselamatan ibu dan bayi kian meningkat. 

Meskipun terdapat peningkatan umur harapan hidup, masih terdapat ketimpangan dalam kualitas dan akses layanan kesehatan di Kabupaten Bogor. Pada tahun 2023, dari 40 kecamatan di Kabupaten Bogor, hanya 14 kecamatan yang terdapat rumah sakit umum (RSU). Pelayanan dan peralatan medis di RSU lebih lengkap dibanding fasilitas kesehatan lainnya, sehingga pasien akan lebih cepat tertangani dengan baik. Tidak hanya ketimpangan antar kecamatan, tetapi ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, kelompok masyarakat dengan status ekonomi yang berbeda harus menjadi perhatian. Masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah, sering kali kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan yang layak karena faktor biaya atau keterbatasan informasi mengenai fasilitas yang ada. Oleh karena itu, pemerataan kualitas layanan kesehatan, serta penguatan program-program pencegahan penyakit dan promosi gaya hidup sehat di seluruh lapisan masyarakat, harus menjadi prioritas dalam langkah-langkah pembangunan ke depan. 

Dimensi Pendidikan: Dibutuhkan akselerasi peningkatan harapan lama sekolah (HLS) dan rata-rata lama sekolah (RLS). 

Pada dimensi pendidikan, Kabupaten Bogor juga mencatatkan perkembangan yang positif. Harapan lama sekolah (HLS) penduduk berusia 7 tahun pada 2024 meningkat menjadi 12,75 tahun, naik 0,11 tahun (0,87 persen) dibandingkan tahun sebelumnya. Begitu pula dengan rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk berusia 25 tahun ke atas yang sedikit mengalami peningkatan dari 8,37 tahun menjadi 8,39 tahun (0,24 persen). Pencapaian ini masih jauh dari target wajib belajar 9 tahun. 

Namun, meski ada perbaikan, peningkatan dimensi pendidikan relatif lambat. Dalam meningkatkan RLS dibutuhkan usaha yang lebih ekstra dibanding meningkatkan HLS. Sasaran peningkatan RLS adalah masyarakat berumur 25 tahun ke atas. Mereka akan lebih mementingkan untuk mencari nafkah ketimbang melanjutkan pendidikan. Program pendidikan gratis melalui pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sangat diperlukan. Penyediaan anggaran dan sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan harus dilakukan sampai wilayah terkecil dengan sinergitas dan koordinasi yang kuat antar berbagai pihak. 

Dalam meningkatkan HLS, terdapat tantangan besar dalam hal pemerataan kualitas pendidikan. Beberapa daerah, terutama yang jauh dari pusat kota atau dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah, masih mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Kendala seperti kekurangan fasilitas, ketidakcukupan syarat luas tanah pembangunan sekolah, rendahnya rasio guru, angka putus sekolah, pernikahan dini, hingga terbatasnya pelatihan untuk tenaga pendidik di daerah, memperburuk ketimpangan pendidikan di Kabupaten Bogor. Selain itu, kesenjangan dalam pendidikan tinggi juga harus menjadi perhatian. Tidak hanya soal fasilitas, tetapi juga soal bagaimana meningkatkan daya saing pendidikan di tingkat perguruan tinggi dan keterampilan masyarakat agar lebih siap dalam menghadapi tantangan dunia kerja yang terus berkembang. 

Dimensi standar hidup layak diukur dari rata-rata pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan. Ukuran ini lebih baik dibanding pendapatan. Masyarakat akan cenderung under bila ditanya mengenai pendapatan, sehingga pengeluaran akan lebih mendekati keadaan riil di masyarakat. Rata-rata pengeluaran riil per kapita menunjukkan peningkatan sebesar 3,68 persen (atau sekitar Rp 410 ribu), dari 11,15 juta rupiah pada 2023 menjadi 11,56 juta rupiah pada tahun 2024. Ini mengindikasikan adanya peningkatan daya beli masyarakat, yang juga mencerminkan adanya perbaikan dalam sektor ekonomi lokal. 

Meskipun ada peningkatan pengeluaran riil per kapita, tidak serta-merta mencerminkan peningkatan kesejahteraan yang merata di seluruh kabupaten. Masyarakat Kabupaten Bogor yang bekerja di sektor formal, mendapatkan upah minimum sebesar 4,58 juta rupiah per bulan. Sedangkan rata-rata pengeluaran riil masih jauh di bawahnya, yaitu hanya sekitar 3,85 juta rupiah per bulan (asumsi: 1 keluarga terdapat 4 orang), karena tidak semua masyarakat Kabupaten Bogor bekerja pada sektor formal dengan kepastian pendapatan yang diterima setiap bulannya. Masih terdapat 44,71 persen masyarakat Kabupaten Bogor bekerja di sektor informal seperti wiraswasta tanpa pegawai yang dibayar, pekerja serabutan, dan pekerja keluarga tanpa upah. Kabupaten Bogor yang masih bergantung pada sektor pertanian tradisional dan perdagangan berskala mikro kecil mempengaruhi pendapatan yang kurang layak dan tidak berkelanjutan dibanding sektor lainnya. 

Dengan jumlah penduduk yang sangat banyak dan wilayah yang sangat luas, peningkatan capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bogor yang masih lamban namun pasti dari tahun ke tahunnya menjadi sebuah prestasi yang patut diapresiasi. Capaian ini menunjukkan komitmen dan kerja keras pemerintah daerah serta partisipasi aktif masyarakat dalam memajukan kesejahteraan dan kualitas hidup penduduk. Dengan terus meningkatnya IPM, Kabupaten Bogor semakin memperkuat posisinya sebagai salah satu daerah maju di Jawa Barat, yang mampu menghadirkan masa depan yang lebih baik bagi seluruh warganya. 

Dengan komitmen yang kuat dan kolaborasi yang erat antara pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat, Kabupaten Bogor

*****

Penulis: 

Sarah Nurlaily, S.ST, M.E.K.K . (Stastisi Ahli Muda Kabupaten Bogor)

dan Agus Nuwibowo, S.Si.,MM (Statistisi Ahli Madya BPS Kabupaten Bogor)


Read More