Insight dari Kontroversi Kenaikan PPN menjadi 12%
Kontroversi yang terjadi terkait dengan implementasi PPN 12% mulai Januari 2025 bersifat kontra produktif bagi stabilitas ekonomi Indonesia. Ribut-ribut tanpa mencari solusi hanya akan karena akan menciptakan aksi defensif dari pelaku ekonomi, tak heran jika reventive inflation yaitu inflasi yang terjadi mendahului kebijakannya.
Oposisi sekalipun, baiknya mengambil langkah yang bijak dengan menunjukkan dampak positif dan negatif secara proporsional. Jika hanya bicara hal yang buruk maka hanya memperparah penolakan masyarakat yang pada akhirnya menciptakan sentimen negatif pada investor. Efeknya investor akan memindahkan modalnya keluar Indonesia karena khawatir akan merugi. Gejala ini sudah terjadi dengan hengkangnya modal asing (capital outflow) sebesar Rp 4,31 triliun di Pekan Ketiga Desember 2024 (BI, 2024). Hengkangnya asing dari pasar keuangan dalam negeri, premi risiko investasi di Indonesia juga meningkat. Ini terlihat dari premi credit default swap (CDS) Indonesia 5 tahun per 26 Desember 2024 sebesar 76,02 bps, naik dibanding dengan 20 Desember 2024 sebesar 75,86 bps.
Untuk mencapai visi bersama mencapai Indonesia Emas 2045, semua pihak harus bersama-sama menjaga sentimen agar tetap positif. Tetap dengan jujur mengatakan data situasi yang sebenarnya adalah keharusan dalam menjaga fairness. Data yang menunjukkan risiko efek negatif dari implementasi PPN 12% digunakan untuk menyusun mitigasi terbaik, memberikan saran jika ada celah yang bisa diperbaiki untuk meminimalkan risiko. Defisit anggaran adalah masalah yang harus segera diperbaiki. Protes tentang membengkaknya utang pemerintah menjadi tidak konsisten ketika cara untuk mengatasinya dengan meningkatkan pembiayaan dalam negeri lewat peningkatan pajak. Maraknya pemberitaan tentang PPN ini digunakan sebagai kesempatan untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat khususnya terkait pajak. Ketika pemahaman masyarakat semakin baik terhadap manfaat pajak, diharapkan kesadaran membayar pajak semakin besar dan pemasukan pajak semakin baik.
Salah satu sumber utama ketidakpercayaan publik pada pemerintah adalah ketidaktegasan penegak hukum pada praktek korupsi. Siapapun tidak akan ada yang pernah rela 12% yang mereka sisihkan untuk pembangunan malah digunakan oleh para koruptor untuk memperkaya diri sendiri, dan digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya dengan memelihara oligarki. Seolah-olah masyarakat hanyalah sapi perah ketika kaum elit membutuhkan susu untuk diminum, sementara mereka tidak menemukan rumput untuk dikunyah.
***
Naskah lengkap dapat dibaca disini