Ujang Mauludin- Statistisi Muda BPS Kota Cirebon
Isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) telah menuai beragam kontroversi. Dari sisi pemerintah, kenaikan PPN dianggap perlu untuk mencapai beberapa tujuan strategis, di antaranya: (1) Meningkatkan pendapatan negara, (2) Mengurangi defisit anggaran, (3) Mendukung pemulihan ekonomi pasca-krisis seperti pandemi COVID-19, (4) Menyesuaikan dengan standar internasional, (5) Diversifikasi sumber pendapatan pajak, dan (6) Meningkatkan kepatuhan pajak. Namun, bagi masyarakat, terutama yang berpendapatan rendah dan menengah, kenaikan PPN berpotensi menambah beban ekonomi. Dampak yang dapat dirasakan antara lain: (1) Meningkatnya harga barang dan jasa, (2) Penurunan daya beli, (3) Beban ekonomi yang lebih berat, (4) Potensi inflasi, (5) Pengurangan konsumsi, serta (6) Ketidakpuasan yang dapat memicu ketegangan sosial.
Kondisi ini menimbulkan dilema bagi pemerintah dalam merealisasikan kenaikan PPN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif PPN yang baru sebesar 12% akan diberlakukan paling lambat pada 1 Januari 2025, setelah sebelumnya tarif 11% diberlakukan sejak 1 April 2022. Kenaikan tarif ini sudah berlangsung selama 2,9 tahun, namun perlu dievaluasi apakah kebijakan ini sejalan dengan kondisi perekonomian saat ini, termasuk pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat pengangguran, dan pendapatan per kapita.
Pertumbuhan Ekonomi
Inflasi dan Kenaikan Harga Pangan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan III-2024 tercatat 4,95% (year-on-year), meskipun ada sedikit penurunan dibandingkan Triwulan II-2024 yang tercatat 5,05%. Beberapa sektor seperti Jasa Lainnya (9,95%), Transportasi dan Pergudangan (8,64%), serta Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum (8,33%) mengalami pertumbuhan pesat. Sementara sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, yang menyerap sekitar 28,18% dari tenaga kerja Indonesia, hanya mencatatkan pertumbuhan 1,69%. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor primer yang cenderung memiliki pendapatan lebih rendah, hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada sektor yang rentan terhadap fluktuasi harga komoditas pangan dan cuaca.
Pada November 2024, Indonesia mengalami inflasi year-on-year (y-o-y) sebesar 1,55%, yang relatif terkendali, meskipun penurunan inflasi yang terlalu cepat juga dapat menandakan pelemahan ekonomi. Salah satu kelompok pengeluaran yang terus memberikan andil inflasi terbesar adalah kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau. Kenaikan harga bahan pangan seperti beras, sayur, minyak goreng, dan daging sering dipengaruhi oleh faktor cuaca, pasokan barang, dan biaya pengiriman. Meskipun kelompok ini memberikan kontribusi besar terhadap inflasi, sifat permintaan yang inelastis—di mana masyarakat tetap membutuhkan barang-barang tersebut meskipun harganya naik—membuat dampak inflasi semakin terasa, terutama bagi masyarakat dengan pendapatan rendah.
Tingkat Pengangguran dan Ketimpangan
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia pada Agustus 2024 tercatat sebesar 4,91%, dengan tingkat pengangguran tertinggi terjadi di daerah perkotaan (5,79%). Meskipun pengangguran di daerah perkotaan menunjukkan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, tingkat pengangguran yang tinggi pada penduduk dengan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) mencerminkan adanya kesenjangan antara keterampilan yang dimiliki dengan kebutuhan pasar kerja. Ketidaksesuaian ini, ditambah dengan rendahnya lapangan pekerjaan di sektor-sektor produktif lainnya, membuat tingginya pengangguran di kalangan penduduk dengan latar belakang pendidikan menengah lebih rentan terhadap dampak kenaikan PPN.
Pendapatan Per Kapita dan Ketimpangan Wilayah
Pada 2023, Produk Domestik Bruto (PDB) per Kapita Indonesia tercatat sebesar 74,96 juta rupiah, atau setara dengan 6,25 juta rupiah per bulan. Namun, perbedaan signifikan dalam pengeluaran per kapita antara daerah perkotaan dan pedesaan menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia belum merata. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun secara keseluruhan perekonomian tumbuh, banyak penduduk yang masih hidup dalam kondisi ekonomi yang sangat terbatas.
Keterkaitan Kenaikan PPN dengan Dampak Ekonomi
Kenaikan PPN yang dijadwalkan pada awal 2025 dapat mempengaruhi daya beli masyarakat, terutama di sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi barang dan jasa, seperti pangan dan kebutuhan sehari-hari. Terutama bagi mereka yang bekerja di sektor pertanian atau sektor-sektor dengan pendapatan lebih rendah, kenaikan PPN dapat memperburuk ketimpangan ekonomi. Pada saat yang sama, tingginya inflasi di sektor makanan dan konsumsi yang tidak elastis meningkatkan potensi terjadinya krisis daya beli.
Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh kondisi perekonomian, mengingat potensi dampak negatif dari kenaikan PPN pada inflasi, daya beli, dan ketimpangan ekonomi. Kebijakan fiskal yang mendukung pemulihan ekonomi harus lebih memperhatikan sektor-sektor yang rentan dan berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan rakyat.
****
Penyunting Narasi Blog - Marisa Wajdi
0 comments:
Posting Komentar